Dilarang Nikahkan Anak Sebelum Lulus Sekolah… Waduuuuh, Mak… Kalau Udah Hamil Duluan, Gimana Nih, Mak?
JEMBER, kabarlucu.com
Tak dapat dipungkiri, meskipun jaman sudah canggih sekelas jaman internet dan handphone (HP) seperti ini, namun masih ada orangtua yang ingin menikahkan anaknya di usia dini. Meskipun si anak belum siap menikah, namun orangtua tetap saja ‘berbudaya’ ingin cepat-cepat menikahkan anaknya.
Apa mungkin, karena orangtua takut anaknya jadi perawan tua? Atau hanya karena ingin anaknya dinikahi orang kaya? Entahlah… Namun, itulah fenomena yang terjadi di pedesaan hingga sekarang. Nggak percaya? Baca aja berita yang kami kutip dari kompas.com di bawah ini:
Pernikahan dini jamak terjadi di pedesaan wilayah Kabupaten Jember, Jawa Timur. Bagi pengelola SMP dan SMK Islam Bustanul Ulum, biasa disingkat IBU, di Desa/Kecamatan Pakusari, pernikahan sebelum rampung sekolah itu berarti gangguan.
"Salah satu gangguan itu adalah keinginan orangtua menikahkan anak meski belum lulus sekolah, baik SMP maupun SMK," ujar Hafidi, Ketua Yayasan IBU. Hafidi tidak sedang guyon.
Sejak awal pendaftaran, Yayasan IBU mengharuskan calon orangtua/wali murid meneken surat perjanjian tentang kesediaan tidak menikahkan anaknya sebelum lulus.
"Budaya menikah muda masih sering terjadi di sekitar kecamatan ini, padahal murid-murid berasal dari kecamatan di sekitar Pakusari. Dan memang, banyak terjadi kasus seperti itu. Sekolah mrothol (putus) di tengah jalan karena siswa tersebut menikah," ujarnya.
Tentu saja langkah itu bukan tanpa tantangan, karena berarti menantang budaya dan kebiasaan warga setempat. Warga yang terutama dari kalangan kurang mampu, biasa menikahkan anaknya jika ada yang melamar.
"Tapi jika ingin pendidikan dasar tuntas, harus berani mengambil sikap besar meskipun itu besar pula resikonya," tegas Hafidi yang juga politisi PKB tersebut.
Pada awal didirikannya SMP IBU di tahun 2006, tidak jarang Hafidi didatangi ratusan orang di rumahnya yang memprotes kebijakan tersebut. Dan tidak sedikit pula, orangtua yang menyalahi janji dan tetap nekat menikahkan anaknya meskipun masih belum lulus SMP.
Hafidi menceritakan, pernah suatu hari di tahun 2008, dia didatangi warga Desa Tegalrejo, Kecamatan Mayang. Mereka datang sambil marah kepada Hafidi.
"Bagaimana tidak marah, lha wong terop sudah terpasang di rumah untuk mantenan. Padahal anaknya masih duduk di bangku kelas I," kata politisi yang kini jadi anggota DPRD Jember tersebut. (kcl-1)
JEMBER, kabarlucu.com
Tak dapat dipungkiri, meskipun jaman sudah canggih sekelas jaman internet dan handphone (HP) seperti ini, namun masih ada orangtua yang ingin menikahkan anaknya di usia dini. Meskipun si anak belum siap menikah, namun orangtua tetap saja ‘berbudaya’ ingin cepat-cepat menikahkan anaknya.
Apa mungkin, karena orangtua takut anaknya jadi perawan tua? Atau hanya karena ingin anaknya dinikahi orang kaya? Entahlah… Namun, itulah fenomena yang terjadi di pedesaan hingga sekarang. Nggak percaya? Baca aja berita yang kami kutip dari kompas.com di bawah ini:
Pernikahan dini jamak terjadi di pedesaan wilayah Kabupaten Jember, Jawa Timur. Bagi pengelola SMP dan SMK Islam Bustanul Ulum, biasa disingkat IBU, di Desa/Kecamatan Pakusari, pernikahan sebelum rampung sekolah itu berarti gangguan.
"Salah satu gangguan itu adalah keinginan orangtua menikahkan anak meski belum lulus sekolah, baik SMP maupun SMK," ujar Hafidi, Ketua Yayasan IBU. Hafidi tidak sedang guyon.
Sejak awal pendaftaran, Yayasan IBU mengharuskan calon orangtua/wali murid meneken surat perjanjian tentang kesediaan tidak menikahkan anaknya sebelum lulus.
"Budaya menikah muda masih sering terjadi di sekitar kecamatan ini, padahal murid-murid berasal dari kecamatan di sekitar Pakusari. Dan memang, banyak terjadi kasus seperti itu. Sekolah mrothol (putus) di tengah jalan karena siswa tersebut menikah," ujarnya.
Tentu saja langkah itu bukan tanpa tantangan, karena berarti menantang budaya dan kebiasaan warga setempat. Warga yang terutama dari kalangan kurang mampu, biasa menikahkan anaknya jika ada yang melamar.
"Tapi jika ingin pendidikan dasar tuntas, harus berani mengambil sikap besar meskipun itu besar pula resikonya," tegas Hafidi yang juga politisi PKB tersebut.
Pada awal didirikannya SMP IBU di tahun 2006, tidak jarang Hafidi didatangi ratusan orang di rumahnya yang memprotes kebijakan tersebut. Dan tidak sedikit pula, orangtua yang menyalahi janji dan tetap nekat menikahkan anaknya meskipun masih belum lulus SMP.
Hafidi menceritakan, pernah suatu hari di tahun 2008, dia didatangi warga Desa Tegalrejo, Kecamatan Mayang. Mereka datang sambil marah kepada Hafidi.
"Bagaimana tidak marah, lha wong terop sudah terpasang di rumah untuk mantenan. Padahal anaknya masih duduk di bangku kelas I," kata politisi yang kini jadi anggota DPRD Jember tersebut. (kcl-1)
0 Response to " "